Kamis, 25 Januari 2018

Catatan Pernikahan (Part 5)

Hasil gambar untuk cincin seorang diri dari cerai
Sumber gambar: google.co.id/ percikan iman online

“Neng …” Ian masuk tanpa salam.


Dyah melirik kaget, menumpahkan air kopi yang sedari tadi diminumnya. “Loh? Tumben pulang cepet?”

”Kamu apa-apaan sih, Neng?” suaranya terhenti, tetiba dalam hati berbisik harus tahan dan pura-pura tidak tahu. Namun, ia pun tak bisa bungkam begitu saja. Sesak amarahnya menggumpal seperti bola salju yang siap dilempar. “Ada apa kamu sama Yoga?” teriaknya membari membanting pintu.

Jebreet. Suara bantingan pintu itu terdengar hingga ke tetangga. Satu-dua tetangganya mulai menengok ke arah sumber suara, sebagian yang lain memilih menguping.

Saat waktu bersamaan, Kifa datang bersama ibu mertua juga adiknya. Tak lupa pula anaknya dalam gendongan. Ia menyusup masuk tanpa permisi, tinggalkan pertanyaan yang membekas dihati. “Duh, ada apa ayah? Kayanya, akan ada perang saudara nih.” Bisik suara tetangga.

Kifa menghiraukan keramaian.  Emosinya memuncak bak gunung mengeluarkan lahar. “Eh jablay, anjing loe …” Kifa menarik bahu Dyah, dan menjambak rambutnya. Suaranya meninggi meskipun sedikit purau, “mau loe apa, hah? Loe mau … mau ngehancuri rumah tangga gue, hah?” lanjutnya yang tersedu bersama isak tangis yang menderu.

Anjing, loe. Sakit taek,” jawab Dyah tidak kalah emosi, “tanyain laki loe. Anjing loe, apa-apaan coba?” suaranya pun meninggi, ia membalas menjambak rambut Kifa.
Dita merengkuh bahu Kifa, berusaha memberinya ketenangan. “Entar dulu,jangan emosi dulu. Kan tadi bilangnya mau dibahas kekeluargaan aja.”

“Diam loe!” jawab Kifa kalaf, mendorong bahu Dita ke tembok.

Bruuuuugh. “Aaw.” Jerit Dita kesakitan.

“Sabar, Kifa. Sabar.” Ibu Wiwid menahan tubuh Kifa yang bergolak menyambar tubuh Dyah.

Dita dengan rasa ibanya, mengambil alih bayi yang sedari tadi ikut terkoyak-koyak emosi ibunya. Dilepaslah gendongan dari sang ibu, kemudian ia membawa keponakannya pergi keluar. Ditatapnya wajah para tetangga yang sedari tadi memerhatikan, seperti halnya film disebuah bioskop.

Ian tak berdiam diri, ia mencoba melerai pertengkaran yang terjadi. “Neng!” teriak Ian, “kamu itu udah punya suami, hargai aku. Aku masih suami kamu. Jaga sikap! Jangan kegatelan! Dia itu adik iparmu, bukan oranglain.” Sentak Ian bersama emosi.

“Wah … si Ian bisa marah ternyata.” Bisik para tetangganya.

Tetangga yang lain menampalinya, “iya, ya. Serem juga ternyata.”

“Kasian Mas Ian ya, kerja cap’ek-capek, istrinya begitu.” Sahut tetangga yang lain, “sabar banget ya jadi Mas Ian.”

“Ih kalau gue jadi dia, udah gua tinggalin itu bini.” Sahut yang lain tak kalah sinis.

Dita mendengar percakapan yang dibicarakan para tetangganya. Namun ia hanya diam, masih menimang bayi Kifa yang terus menangis.

Beberapa waktu kemudian, masih kegaduhan itu belum jua selesai. Orangtua Dyah datang, dan pekarangan rumah sudah ramai menjadi tontonan gratis tetangga.

Namun kedua orangtuanya tak banyak tingkah, seperti layaknya orangtua pada umumnya yang ketika melihat anaknya dipojokkan. Lain kini, dengan orang tua Dyah, mereka justru hanya melihat seperti sesuatu itu sedang tidak terjadi terhadap anak perempuannya. Ya, hanya beralasan tersabab sakit yang diderita.

Suasana hening seketika, tatkala kemudian Yoga datang.

“Tuh, tuh …” ucap Safina, tetangga depan rumah Dyah, “Yoga datang.” Ia menyenggol sikut Rahayu.

“Tau nggak? Kan dia dulu kenangan masalalunya Yoga. Jadi wajar aja, jadinya begini.” Ujar Nana.

“Husst, diem.” Sahut Rahayu.

Yoga datang dengan tergopah-gopah, seperti dikejar anjing. Ia langsung masuk kedalam rumah, menenangkan istrinya. Dipeluknya Kifa, ditubuhnya yang kekar. Tangis Kifa meraung seperti auman serigala, sembari memukul-mukul bahu Yoga.

Sementara Dyah, masih menggerutu.


*bersambung
(Maaf ada kata-kata yang sangat kasar ditulisan, tidak bermaksud apa-apa. Hanya sekedar pendukung sikap kalaf dari sebuah emosi para tokohnya.)

#Day15
#30DWC
#OneDayOnePost

4 komentar:

  1. asyiiiik, lanjutkenn mbak...

    eh, kalaf atau kalap ya?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Siap mas dwi...
      Eh kalap deng mas, autotext itu hahaha.
      Mkasih udah ngingetin, nanti saya gnti deh

      Hapus